Invalid Date
Dilihat 42 kali
PONTIANAK, SP - Praktik bisnis hukum adat sejumlah oknum dari organisasi kemasyarakatan Dayak, merupakan bentuk pelecehan dan merusak citra Suku Dayak secara keseluruhan di Borneo, wilayah Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Pelakunya harus dihukum adat Dayak kembali. Demikian Musyawarah Adat Domong Adat Desa Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Hulu Aik, di Laman Sengkuang, Desa Banua Krio, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, 16-18 Desember 2021.
Musyawarah mengambil tema: “Melalui Musyawarah Adat Domong Adat Desa Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Hulu Aik Kita Tegakkan Kedaulatan Domong Adat sebagai Penegak Adat, Tradisi, Budaya dan Hukum Adat Dayak”.
Demong, sebutan hakim adat Dayak di hampir semua wilayah adat Dayak di Kabupaten Ketapang, Temenggung di kalangan Dayak Iban di Provinsi Kalimantan Barat, disebut Damang di Provinsi Kalimantan Tengah, Kepala Adat di Provinsi Kalimantan Timur, Anak Negeri di Negara Bagian Sabah dan Pemanca di Negara Bagian Sarawak, Malaysia.
“Para Demong di wilayah Kabupaten Ketapang, mesti tegas seret para pelaku (praktik bisnis hukum adat) di lembaga peradilan adat Dayak setempat, supaya menimbulkan efek jera,” kata Dr Yulius Yohanes, M.Si, Sekretaris Jenderal Dayak International Organization dan Ketua Dewan Pengurus Daerah Majelis Hakim Adat Dayak Nasional Provinsi Kalimantan Barat.
Yulius Yohanes mengatakan, jika ditemui di Pulau Borneo, masih terjadi bisnis hukum adat oleh sejumlah oknum, maka harus dilakukan gerakan kolektif semua pihak internal orang Dayak, untuk melakukan pencegahan agar tidak terulang kembali.
“Bilamana perlu koordinasi dengan kelembagaan adat Dayak lainnya, polisi dan unsur pemerintahan setempat, dalam menyeret para pelakunya. Tidak ada kata lain, seret dan tangkap pelakunya untuk dihukum adat kembali!” tegas Yulius Yohanes.
Musyawarah dibuka Alexander Wilyo, Sekretaris Daerah Kabupaten Ketapang dan sekaligus dalam kapasitasnya sebagai Patih Jaga Patih Desa Sembilan Domong Sepuluh Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua di Kerajaan Hulu Aik.
Narasumber lainnya, Krissusandi Gunui (Istitut Dayakologi), Dolanang dan Aryanto (tokoh Adat Dayak Tobag dari Kabupaten Sanggau), Eugune Yohanes Palaunsoeka (budayawan Kalimantan Barat), Ferry Hyang Daika (praktisi hukum).
Musyawarah sepakat memperkuat posisi para demong sebagai benteng terakhir dalam peradaban Suku Dayak. Di antaranya dengan melegalisasi eksistensi yang diadaptasi dengan perkembangan zaman, tapi tidak menghilangkan prinsip dasar dari posisi seorang demong.
Alexandar Wilyo mengingatkan para demong untuk tetap tegak lurus di dalam menjalankan tugas, demi menjaga harga diri Suku Dayak.
"Jangan takut mempertahankan kesucian kebudayaan Dayak yang melekat di dalam diri seorang demong, kalau apa yang kita lakukan, sesuai koridor dan ketentuan yang berlaku di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Alexander Wilyo.
Sekretaris Dewan Adat Dayak Kabupaten Ketapang, John Lukman, mengaku risih, dengan ulah sejumlah oknum yang seenaknya menghukum adat perusahaan secara tidak prosedural hingga di atas Rp7 miliar di salah satu kecamatan di Kabupaten Ketapang.
“Membuat kita miris, pelakunya bekerjasama dengan sejumlah oknum pengurus organisasi kemasyarakatan yang bukan berasal dari kecamatan setempat.”
“Mereka, para oknum, itu, bukan berkapasitas sebagai demong. Malah ada yang bukan dari wilayah Kabupaten Ketapang. Ini harus kita tertibkan, bersihkan, dan tindak pelakunya, karena sudah sangat meresahkan dan merusak citra Dayak secara keseluruhan,” kata John Lukman.
Yulius Yohanes, mengatakan, sejarahnya mencatat ribuan tokoh masyakat adat Dayak menggelar pertemuan Damai di Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 Mei – 26 Juli 1894, menghasilkan 9 point kesepakatan, dijabarkan dalam 96 pasal hukum adat, di antaranya menghentikan budaya perbudakan dan potong kepala manusia.
Hasil pertemuan Damai Tumbang Anoi 1894, sebagai undang-undang dasar masyarakat hukum adat Dayak di Pulau Borneo, atau sebagai tonggak dasar pedoman arah masyarakat hukum adat Suku Dayak sampai sekarang.
Empat Fungsi Demong
Dikatakan Yulius Yohanes, pada masanya dan sampai sekarang dalam revitalisasi Kebudayaan Dayak, posisi Demong sangat strategis karena memiliki empat peran sekaligus, yaitu.
Pertama, Pewarta Agama Dayak.
Kedua, Panglima Perang.
Ketiga, Kepala Wilayah.
Keempat, Hakim Adat yang memutus sengketa perdata dan pidana antar anggota komunitasnya.
“Posisi sebagai pewarta Agama Dayak, maknanya Demong merupakan utusan Tuhan di Tanah Dayak,” kata Yulius Yohanes.
Demong, berfungsi menganyomi dan menuntun masyarakat Adat Dayak sebagai sekelompok individu masyarakat pribumi atau kesatuan hidup manusia yang menempati suatu tempat dengan batas wilayah yang jelas, dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat dalam satu rasa identitas komuniti.
Di era moderen sekarang, ini, Demong tetap memiliki tanggungjawab besar dan strategis dalam pembentukan karakter dan jati diri Dayak, karena pengetahuannya yang luas, tokoh panutan, integritas moral teruji dalam mengaplikasikan relligi Dayak dalam kehidupan sehari-hari, dengan sumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak.
Mengaktualisasikan peran Demong, sejalan dengan Proram Nawacita, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkarakter secara budaya.Dikaitkan dengan peran Demong, Pemerintah telah melakukan konsolidasi nasional lewat empat tahap, untuk menuntun masyarakat kembali pada karakter dan jatidiri sesuai kebudayaan asli bangsa Indonesia.
Pertama, Seminar Nasional Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Selasa, 4 April 2017, dimana ditegaskan pembangunan Indonesia di masa mendatang harus berdasarkan akselerasi kapitalisasi dan modernisasi budaya, mengingat hal yang sama menjadi kunci utama kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi inovasi di China, Jepang dan Korea Selatan.
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), pada 27 April 2017, mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan, adalah jalan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia: menjadi masyarakat berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari secara ekonomi, dan berdaulat secara politik.
Untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki undang-undang tentang Kebudayaan Nasional.
“Di sini digariskan, setiap warga masyarakat Indonesia, harus berkedudayaan asli Indonesia, dan orang Dayak harus berkebudayaan Dayak.Karena kebudayaan Dayak, salah satu dari Kebudayaan Nasional,” ujar Yulius Yohanes.
Bagi masyarakat Adat Dayak, Hakim Adat Dayak disebut Demong di Kabupaten Ketapang, bersifat berdaulat, mandiri, atas dasar kesamaan kegiatan, profesi di bidang modernisasi, melalui revitalisasi dan reposisi Kebudayaan Dayak dengan menganut trilogi peradaban kebudayaan mayarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Bahwa trilogi peradaban masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia dimaksud, sebagai pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
“Bahwa pembentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat dimaksud, lahir dari sistem religi Dayak dengan sumber doktrin atau berurat berakar kepada legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban,” ungkap Yulius Yohanes.
Masyarakat Hukum Adat Dayak adalah entitas hukum yang dalam dan setara dengan kedudukan subjek hukum lainnya, memiliki kearifan lokal lingkungan, dan Hutan Adat Dayak selain memiliki nilai ekonomi, juga memiliki nilai sosial dan religius magis, melalui norma-norma dan kepercayaan-kepercayaan tertentu yang digunakan untuk menjaga dan mengkonservasi hutan agar memberi kehidupan yang berkelanjutan.
“Dalam menyelesaikan permasalahan perdata dan pidana, mestilah terlebih dahulu mengutamakan aspek kearifan lokal berbasiskan hukum adat, penggunaan hukum negara dilihat sebagai upaya “ultimum remidium”, upaya hukum terakhir,” ungkap Yulius Yohanes.
Sengketa perdata dan pidana yang sudah diselesaikan berdasarkan kearifan lokal, tetermasuk putusan hukum adat Dayak, sifatnya final dan mengikat, sehingga tidak boleh lagi dilanjutkan sesuai hukum negara.
Politik hukum yang lahir dari konstitusi yang menegaskan pengakuan negara terhadap masyarakat Hukum Adat, termasuk hukum Adat Dayak, dengan hak-hak yang juga dikenal dalam konvensi internasional, harus dapat ditentukan secara konseptual untuk dilindungi secara efektif.
Bahwa dalam negara hukum keberadaan perundangan-undangan yang tercipta, harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang, maka makna penerapan Hukum Adat Dayak, agar di dalam melihat sebuah persoalan hukum, tidak boleh semata-mata mengedepankan kebenaran formal (hitam putih, tex book), tapi harus pula memperhitungkan kebenaran materiil, berupa sejarah, adat istiadat, hatinurani, kesaksian masyarakat yang berlangsung secara turun-temurun di kalangan Suku Dayak di wilayah itu.
Hukum Adat Dayak, menurut Yulius Yohanes, adalah produk hukum asli di Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam asli di Kalimantan/Borneo, dan merupakan aspek kebudayaan yang hidup dalam kedinamisan, dimana dengan Hukum Adat Dayak, masyarakat Hukum Adat Dayak, hidup tertib, rukun dan damai.
Bahwa Hukum Adat Dayak, merupakan salah satu dasar persatuan Bangsa, dan sebagai mitra aturan perundangan sekaligus pula sebagai sumber utama pembentukan Hukum Nasional; Hukum Adat Dayak, sebagai aspek kebudayaan, tidak akan hapus di bumi ini kecuali tidak ada lagi masyarakat Adat Dayak.
Bahwa Peradilan Hukum Adat Dayak adalah tawaran solutif, logis dan rasional di tengah-tengah segala kompleksitas problematika dalam ruang pembangunan dan pengembangan hukum, guna terciptanya sebuah hukum di Republik Indonesia, yang lebih baik, yaitu Hukum Nasional yang sesuai dengan rasa keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat di Kalimantan/Borneo.
Bahwa Hakim Adat Dayak sebagai benteng terakhir peradaban Kebudayaan Dayak, maka keberadaan para Hakim Adat Dayak perlu diatur tata cara menggelar Peradilan Adat Dayak dan yurisdiksi para Hakim Adat Dayak.
Langkah Mesti Ditempuh
Dari pemahaman disebutkan di atas, langkah akselerasi peran Demong sebagai tokoh sentral karena kemampuannya di dalam memahami kebudayaan Dayak, integritas moral yang teruji, untuk memudahkan gerakan kepada karakter dan jatidirnya, beberapa langkah mesti ditempuh.
Pertama, memperkuat jaringan infrastruktur kebudayaan Dayak, dituangkan dalam bentuk produk literasi, berupa pendokumentasian mitos suci, legenda suci, adat istiadat dan hukum Adat, karena pesan moralnya sebagai filosofi hidup masyarakat Suku Dayak.
Kedua, meroposisi pelaksanaan hukum adat, lantaran hukum adat itu bersifat suci dan sakral, karena sebagai salah satu komponen dari sumber doktrin agama asli Dayak.
Hukum adat hanya boleh digelar seseorang berkapasitas sebagai Demong yang peroleh legitimasi dari komunitas adat Dayak setempat sebagaimana rekomendasi Seminar Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak, Selasa, 22 Mei 2017.
Dalam Seminar Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat tahun 2017, menurut Yulius Yohanes, ditegaskan, seseorang terbukti menggelar peradilan adat, tapi bukan berstatus sebagai Demong, maka yang besangkutan wajib dihukum adat kembali, karena masuk kategori melanggar adat Dayak.
Ketiga, mendorong Pemerintah Kabupaten Ketapang dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Ketapang, untuk menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pemajuan Kebudayaan, sebagai penjabaran teknis dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan.
Keempat, keputusan hukum adat oleh demong bersifat final dan mengikat sehingga tidak boleh lagi dilanjutkan sesuai hukum negara.
Dikatakan Yulius Yohanes, ekspresi dari salah satu jenis religi Dayak yang bukan pada tempatnya, merupakan bentuk pelecehan dan penistaan terhadap termpat, jenis, simbol dan sistem dari religi Dayak.
“Karena religi Dayak bagi orang Dayak, sebagai filosofi etika berperilaku untuk kembali kepada karakter dan jatidiri Dayak, sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebuayaan,” ungkap Yulius Yohanes.
Diingatkan Konsolidasi Internal di Masyarakat Dayak
Dalam kesempatan musyawarah, tokoh Adat Dayak Tobag dari Kabupaten Sanggau, Dolonang dan Aryanto, mengungkap masa-masa kejayaan Kerajaan Hulu Auik di Bunua Krio yang mampu menjalin komunikasi baik dengan sejumlah pihak, hampir dengan semua pihak kerajaan di seluruh Pulau Borneo, hingga ke wilayah Sarawak.
Karena itu, pendokumentasian sejarah Kerajaan Hulu Aik perlu dilakukan secara terpadu, sebagai salah satu pijakan bagi bagi masyarakat Suku Dayak di masa mendatang.
Sementara itu, Narasumber lainnya, Krissusandi Gunui, Eugune Yohanes Palaunsoeka, mengingatkan, tentang pentingnya melakukan konsolidasi internal bagi orang Dayak, di dalam memantapkan jaringan infruktur kebudayaannya.Bagi Eugene Yohanes, mengatakan, pemantapan jaringan infrastruktur Kebudayaan Dayak menjadi sangat penting sebagai landasan di dalam melakukan adaptasi terhadap perkembangan zaman.
“Permasalahan tanah adat di kalangan Suku Dayak, perlu mendapat dukungan nyata dari Pemerintah Daerah, agar dapat diterbitkan surat pengakuan terhadap eksistensinya,” ujar Krissusandi Gunui.
Ferry Hyang Daika, mengatakan, peran demong dalam hal-hal tertentu sangat membantu proses penegakan hukum yang murah, efektif dan singkat. Karena itu, peran demong sampai sekarang masih tetap dibutuhkan.
Di tempat terpisah, Dewan Pimpinan Pusat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) menilai, Saprudin alias Udin Balok yang menjual ilmu kebal kepada sejumlah oknum di Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, telah merusak citra humanisme orang Dayak secara keseluruhan di Pulau Borneo.
Hal yang sama ditujukan kepada seseorang yang dimana-mana mengaku diri sebagai Panglima Baokng, untuk segera menghentikan aktifitasnya, karena hasil penelusuran, bukan sebagai orang Dayak.
Hal itu dikemukakan Ketua Bidang Peradilan Adat DPP MHADN, Tobias Ranggie SH, Minggu, 19 Desember 2021, menanggapi Press Release Presiden Dayak International Organization, Datuk Dr Jeffrey G Kitingan dan Sekretaris Jenderal, Dr Yulius Yohanes, M.Si, Senin, 26 Mei 2020 (satu tahun silam).
“Ini implikasinya lebih luas, karena bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap Kebudayaan Suku Dayak.Harus segera ditangkap, dan Majelis Bobolian Sabah, mesti segera menggelar peradilan adat terhadap Udin Balok,” kata Tobias Ranggie.
Tobias Ranggie, mengatakan, ada indikasi, khusus Udin Balok, sekarang sembunyi di wilayah Provinsi Kalimantan Utara dan Negara Bagian Sabah.
Dalam Press Release,Senin, 26 Mei 2020, Dayak International Organization, meminta organisasi kemasyarakatan Dayak, melapor kepada otoritas berwenang dan menuntut sesuai religi Dayak (hukum adat), apabila masih menemukan Udin Balok melakukan indikasi praktik penyalahgunaan jenis religi Dayak untuk kepentingan pribadi, mengatasnamakan orang Dayak.
Hasil penelusuran Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, ternyata Udin Balok, dimana sering mengklaim diri sebagai Panglima Kumbang, bersama seseorang yang sering mengaku sebagai Panglima Baokn, ternyata keduanya bukan orang Dayak.
Khusus Udin Balok, hasil penesuluran Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, menurut Tobias Ranggie, ternyata orang dari Pasuruan, Provinsi Jawa Timur, dan pada tahun 2000 pernah menetap di Desa Bajarum, di pinggir Sungai Mentaya, berjarak 5 kilometer dari Ibu Kota Kecamatan Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, dan sekarang sudah tidak diketahui lagi keberadaannya.
“Kepada otoritas yang berwenang di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, untuk dapat melakukan langkah-langkah antisipatif terhadap Udin Balok dan Baokng.Karena kalau dibiarkan berlarut-larut, bisa berpotensi memancing kemarahan kolektif masyarakat Suku Dayak,” kata Tobias Ranggie.
Menurut Tobias Ranggie, apa yang dilakukan Udin Balok dan Baokng, memang membuktikan mereka sangat tidak paham akan hakekat religi Dayak, karena mereka bukan orang Dayak.
Tapi mereka hanya ingin mengeksploitasi religi Dayak yang dalam aplikasinya, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, penghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
“Orang Dayak sangat tidak terima, kalau aplikasi religi Dayak dan aksesoris Dayak digunakan untuk gagah-gagahan menempatkan diri sebagai centeng para pelaku kriminal, pelaku intolerans yang baru keluar dari penjara.Ini sudah sangat mengusik rasa ketenangan orang Dayak,” kata Tobias Ranggie.
Diungkapkan Tobias, apa yang dilakukan Udin Balok dan Baokng, bertentangan dengan unsur religiositas dan spritualitas di dalam religi Suku Dayak yang menganut trilogi peradaban kebudayaan yaitu, hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Trilogi peradaban kebudayaan dimaksud, telah membentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Faktor pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat, lahir dari sistem religi Dayak dengan sumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.
“Langkah Udin Balok dan Baokng, harus segera dihentikan, apapun alasannya, karena implikasikan merusak citra masyarakat Suku Dayak secara keseluruhan. Karena sampai sekarang tidak ada informasi apakah Udin Balok dan Baokng, betul-betul suah menghentikan aktifitasnya atau masih berlangsung,” kata Tobias Ranggie.
Menurut Tobias, sangat tidak benar, kalau diklaim orang Dayak itu kebal, sehingga ilmu kebal orang Dayak bisa menjadi ajang bisnis. Orang yang mengklaim orang Dayak punya ilmu kebal, seperti dilakukan Udin Balok dan Baokng, karena keduanya tidak mengerti religiositas dan spiritualitas religi Dayak.
Diungkapkan Tobias, kalaupun ada implikasi secara kasat mata terhadap salah satu jenis religi Dayak, maka harus dipahami terlebih dahulu apa itu religi Dayak sesungguhnya sebagai konsekuensi orang Dayak akrab dengan budaya leluhur dan alam sekitar.
“Tapi tidak untuk dijadikan alat gagah-gagahan dan menjustifikasi sebagai centeng dan dukungan terhadap berbagai bentuk tindakan intolerans di Indonesia,” ungkap Tobias Ranggie.
Dikatakan Tobias Ranggie, sistem, simbol, tempat dan jenis religi tidak ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya merupakan bentuk penistaan dan pelecehan terhadap religi Dayak.
“Orang Dayak, sendiri, jika mengaplikasikan religi Dayak kemudian dijadikan alat untuk gagah-gagahan di depan publik, untuk diperjual-belikan, tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan religi Dayak, merupakan bentuk pelecehan dan penistaan terhadap sistem, jenis, tempat dan simbol religi Dayak. Pelakunya harus ditindak,” kata Tobias Ranggie.
Hukum Adat Bukti Keberagaman Indonesia
INDONESIA adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukumnya, dimana ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat.
Pada praktiknya masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam mengatur kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang ada.
Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tata hukum adatnya masing-masing untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam yang sebagian besar hukum adat tersebut tidak dalam bentuk aturan yang tertulis.
Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan masyarakat dan tradisi rakyat yang ada.Hukum adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut.
Dalam perkembangannya, praktik yang terjadi dalam masyarakat hukum adat keberadaan hukum adat sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah aturan hukum adat ini tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-hari masyarakat dan menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat hukum adat.
Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Antara hukum adat dengan hukum negara mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan. Menurut Terhaar, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan adat dan berlaku secara spontan.
Dapat disimpulkan hukum adat adalah suatu norma atau peraturan tidak tertulis yang dibuat untuk mengatur tingkah laku masyarakat dan memiliki sanksi.
Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas.
Merujuk pada pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dimana menyebutkan”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Itu berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam sistem hukum Indonesia. (tim lipsus)
Bagikan:
Desa Benua Krio
Kecamatan Hulu Sungai
Kabupaten Ketapang
Provinsi Kalimantan Barat
© 2025 Powered by PT Digital Desa Indonesia
Pengaduan
0
Kunjungan
Hari Ini